Minggu, 28 Juni 2009

MISA KUDUS DAN KITA



Seandainya Anda ditanya isi kotbah Romo, bacaan pertama, bacaan kedua atau bacaan Injil sehabis misa (di depan gereja) masihkah Anda mengingat itu semua? Kalau ya, berarti Anda mengikuti misa dengan baik, penuh konsentrasi. Salut. Kalau tidak berarti Anda mengikuti misa, dengan hadir secara fisik saja, jiwanya bisa jadi di tempat lain. Sungguh sayang Anda kehilangan kesempatan untuk mendapatkan makanan jiwa yang ber-harga. Per-siapan Anda dari rumah dengan be-rangkat ke gereja tepat waktu, memilih pakaian yang pantas untuk ke gereja atau mungkin merias diri, membawa Puji Syukur, menjadi kurang berarti, meski tidak berarti hilang sama sekali. Anda sendiri yang bisa mengevaluasi “berapa persen” Anda sungguh mengikuti misa kudus.

Double Bracket:  Pernahkah kita merenungkan diri sendiri, ketika  mengikuti misa? Maksudnya mengapa dan bagaimana kita mengikuti misa, bukan merenungkan diri saat misa. Apakah Anda datang ke misa mingguan secara rutin? Kalau ya, sungguh bagus. Kalau tidak, perlu diketahui, berapa persen lowong-nya, atau berapa persen hadirnya. Kehadiran misa mingguan kurang dari lima puluh persen, berarti sudah pada garis bahaya. Mengapa? Karena itu berarti Anda sudah tidak membutuhkan ma-kanan rohani, bisa dikatakan jiwa mulai sakit (ditandai dengan berkurangnya nafsu makan).

Mengapa Anda datang ke misa mingguan (atau misa lainnya)? Karena memang begitulah layaknya orang katholik. Atau ingin ber-jumpa Romo atau teman-teman seiman. Atau memang merasa mem-butuhkan misa (seperti orang butuh makan, minum, mandi). Kebutuhan yang tidak dipenuhi akan menggangu kehidupan. Jawaban yang terakhir itu, tentu yang excellent (terbaik).

Apakah Anda mengikuti nya-nyian-nyanyian yang menyertai misa dengan sungguh-sungguh? Anda sendiri kan yang bisa menjawab. Apakah tidak ikut bernyanyi itu berdosa. Jawabnya tegas-tegas tidak. Perlu diingat bahwa nyanyian itu bagian dari misa, bukan pelengkap. Ada orang yang suka menyanyi dan tidak, itu jelas. Kalau setiap kali mendengar dan mengikuti nyanyian kan, tidak ada nyanyian yang sulit. Nyanyian cenderung menyenangkan atau menyentuh jiwa kita. Itulah sebabnya nyanyian mentradisi dalam Gereja.

Saat misa, apakah Anda sungguh tahu tata caranya? Misalnya kapan harus berdiri, kapan harus duduk, kapan harus berlutut, kapan harus hening, kapan harus membuat tanda salib. Atau dengan penuh keraguan mengikuti saja yang dilakukan orang lain di sekitar. Kalau orang sebelah berdiri, ikut berdiri, kalau duduk ikut duduk, membuat tanda salib ikut membuat tanda salib. Jadi semuanya dila-kukan sedikit belakangan daripada orang lain. Kalau semua mau meniru orang lain, padahal selu-ruhnya tidak bisa bagaimana. Ah itu tidak mungkin ya. Terlalu sekali kalau begitu. Tahu benar akan tatacara misa jelas membuat keikutsertaan dalam misa enjoy (menyenangkan). Ingat TPE.

Di mana Anda berada saat misa (duduk atau berdiri)? Anda lebih suka duduk di bagian belakang? Di depan gereja, meskipun di dalam tempat duduk masih tersedia? Maaf, itu memberi indikasi sejauh mana Anda membutuhkan misa. Kehadiran di saat misa mungkin (sekali lagi mungkin, belum pasti) bukan karena kebutuhan, tetapi didorong oleh motivasi lain. Memang posisi yang semakin jauh dari altar, semakin “bebas”. Anda setuju dengan saya?

Apakah Anda berpakaian sesuai dengan maksud kedatangan Anda untuk ikut misa? Kata orang, dalam berpakaian kita perlu menye-suaikan dengan situasi atau aktivitas yang akan kita lakukan. Misalnya kita telanjang saat mandi di kamar mandi, memakai T-shirt saat main sepakbola atau bola volley, memakai pakaian gemerlap saat mau pergi ke pesta, bercelana pendek saat ke sawah. Ke gereja mengikuti misa? Tidak ada aturan baku yang tertulis di dalam Kitab Suci tentang berpakaian. Supaya tidak ada benturan pendapat, maka akhirnya orang (umat) membuat semacam kesepakatan tak resmi. Kalau ada yang melanggar bagai-mana? Ada sanksinya? Ada. Sanksinya kasak-kusuk, atau dibatin orang. Kurang baik (berarti boleh?), datang ke gereja untuk misa dengan pakaian ketat, sehingga seluruh bagian tubuh tergambar dengan jelas, meski tertutup. Ketiak kelihatan juga kurang pas (menurut pendapat saya lho, saya ortodoks?). Juga kaos (umumnya pemudi) yang terlalu cekak, sehingga CD bagian atas terlihat oleh orang lain yang duduk di belakangnya. Yang ini bisa mengganggu konsentrasi orang yang mau mengikuti misa secara sungguh-sungguh. Berdosa apa tidak ya?

Seberapa sering Anda bicara (mengobrol) waktu mengikuti misa? Makin sering nilai mendekati nol, makin jarang nilai mendekati sepuluh. Posisi Anda di mana? Tidak ada orang yang paling tahu tentang Anda, kecuali Anda sendiri.

Waktu menerima komuni apakah Anda lebih puas jika yang menerimakan Romo atau Suster? Jika jawabannya ya, berarti Anda lebih menghargai yang mene-rimakan daripada Tubuh dan Darah Tuhan. Mari kita senantiasa ber-anggapan, bahwa siapapun yang oleh Gereja dinyatakan berhak untuk menerimakan komuni, berarti punya kewenangan sama (baik itu Prodikon, Romo, Bruder, Suster). Termasuk tidak perlu menghindari untuk menerima komuni dari petugas tertentu, karena sedang ada masalah dengannya.

Tulisan ini bersifat renungan, bukan menggurui apalagi menuduh. Apapun motivasi yang melatar belakangi, umat yang datang ke gereja untuk mengikuti misa itu lebih baik daripada yang tidak datang mengikuti misa (kecuali ada alasan yang sungguh masuk akal, misalnya sakit, ada kepentingan yang sungguh tidak mungkin ditinggalkan). Jadi ikut misa itu perlu.

Christiana Suwanti

Lingkungan Mater Dei


Tidak ada komentar: