Minggu, 28 Juni 2009

Pilihan yang Minus Malum


Flowchart: Process: “Makna jabatan presiden di dalam sistem pemerintahan sekarang ini dan ke depan, sesungguhnya untuk menyelenggarakan  pemerintahan berdasarkan sistem konstitusi. Karena itu, rekam jejak yang selayaknya menjadi bahan pertimbangan bukanlah penilaian terhadap personal, ad hominem. Juga bukan karena mereka berbeda. Jadi, tidak apple to apple”Di mata masyarakat, tiga pasang Capres-Cawapres Pilpres 2009 mempunyai kekuatan sekaligus kelemahan. Semua pasangan berkampanye dengan nada yang sama da-lam visi: hen-dak menyejah-terakan masya-rakat, bangsa, dan negara Indonesia.

Menghadapi hal tersebut, situasi umat Katolik khusus-nya dan masyarakat lndonesia umumnya, tampak terbelah dalam fragmentasi dan polarisasi pilihan dengan alasan dan argumentasi masing-masing. Ada yang berharap pada SBY-Boediono, meski koa-lisinya terkesan menguatkan posisi kaum fundamentalis berlabel agama. Koalisi ini pun kental dicitrakan bersekutu dengan funda-mentalis pasar bebas.

Kaum usahawan berharap ba-nyak kepada JK-Wiranto, tapi khawatir penguatan bisnis keluarga ber-kolaborasi dengan pengusaha mantan tentara. Sedangkan harapan kaum wong cilik tertumpu kepa-da Mega-Prabowo dengan konsep ekonomi kerakyatan, meski tampak ku-rang bisa menerima citra Megawati yang dipandang kurang berhasil selama menjadi Presiden. Juga citra Prabowo yang diduga terseret dengan kekerasan selaku komandan militer.

Bagaimana menen-tukan pilihan yang minus malum, yakni pilihan terhadap yang kurang jelek di antara tiga pasangan yang sama-sama ada kekurangannya?

Sikap moral

Pada masa awal jatuhnya Orde Baru, KWI pernah memberikan arahan penggembalaan kepada umat Katolik dan masyarakat Indonesia. Arahan tersebut berin-tikan adanya multi krisis moral di segala bidang yang berujung pada kerusakan sistem politik, ekonomi, dan hidup kenegaraan.

Kini, Mgr M.D. Situmorang, OFMCap selaku Ketua KWI, menyatakan perbaikan multi krisis itu tampak belum usai. Meski demikian, pusat perhatian dan lan-dasan pilihan kita selalulah pertama dan terutama nilai-nilai yang dianut, diperjuangkan, diyakini, dan dirasa cukup dibuktikan oleh para calon. Nilai-nilai itu adalah Pancasila dan UUD Rl 1945, realitas positif keesaan dalam kebhinnekaan masyarakat dan bangsa, pengakuan dan penghargaan akan harkat dan martabat semua warga negara, kesetaraan hak dan kewajiban, kebebasan berkeyakinan dan pene-rapannya demokrasi, keadilan, kesejahteraan umum, supremasi hukum, keamanan, keutuhan bangsa dan wilayah negara.

Karena itu, Mgr Situmorang mengingatkan agar kita tidak memilih orang yang mau menjual ideologinya sendiri, orang yang menjadi alat atau diperalat oleh kepentingan sendiri atau kelompok lain yang menyimpang dari landasan dan cita-cita kebangsaan kita. Arahan itu dapat menuntun kita untuk memilih pasangan capres yang dalam rekam jejak mereka tidak menjual ideologi, tetapi memajukan nilai-nilai Pancasila dalam situasi multi kultural dalam penyelengaraan pemerintahan negara.

Selain itu, politik citra masih perlu dicermati (Haryatmoko, Kompas, 20/5/09). Haryatmoko menyatakan, pada intinya citra sama sekali tidak berhubungan dengan realitas. Dia hanya menyerupai dirinya (simulasi). Simulasi dipertentangkan dengan representasi. Simulasi bermula dari negasi terhadap tanda sebagai nilai, sedangkan representasi bertolak dari prinsip bahwa ada kesetaraan antara tanda dan realitas.

Penanda seakan sudah meng-gantikan makna (pertanda). Di sisi inilah letak pentingnya pertim-bangan sebelum menentukan pilihan cerdas terhadap tiga pasangan capres.

Rekam jejak

Makna jabatan presiden di dalam sistem pemerintahan sekarang ini dan ke depan, sesungguhnya untuk menye-lenggarakan pemerintahan berda-sarkan sistem konstitusi. Karena itu, rekam jejak yang selayaknya menjadi pertimbangan bukanlah penilaian terhadap personal, ad hominem. Juga bukan karena mereka berbeda. Jadi, tidak apple to apple.

Pelaksanaan sistem peme-rintahan negara menurut konstitusi dengan nilai-nilai kebangsaan harus diperjuangkan sama oleh ketiga pasangan, yakni melindungi, menyejahterakan, mencerdaskan, dan memajukan hidup bersama di wilayah RI. Selaku capres, mereka pun harus menyadari adanya musuh bersama dalam segala fun-damentalisme, ideologis, pasar bebas, primordialisme, dan seba-gainya. Lalu, bagaimana rekam jejak para capres dan cawapres tersebut?

SBY sering diberi cap sebagai peragu yang tidak tegas, karena lambat mengambil keputusan. Namun, ternyata dia sangat tegas dan kukuh, misalnya ketika memilih Boediono selaku cawapresnya. Justru Boediono yang lambat memutuskan. Dia memerlukan dua hari, padahal banyak cawapres lain yang siap dan langsung menya-takan setuju.

Contoh lain terkait Perda bernuansa agama tertentu yang nyata-nyata bertentangan dengan landasan konstitusi dan ideologi negara. Dalam hal ini, SBY betul-betul lambat. Hingga kini tidak terdengar ada larangan terhadap Perda-perda itu. Padahal, di dalam UU tentang Pemerintahan Daerah sudah ditentukan bahwa Perda dilarang bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi (Pasal 136 ayat (4) UU No 32 Thn 2004). Sikap peragu yang sama terlihat juga pada kasus Achmadiyah dan lumpur Lapindo. Bencana ini nyata-nyata membuat sengsara banyak orang. Tetapi, yang banyak dicitrakan justru yang sebaliknya, yakni keberhasilan SBY dalam pembagian BLT, program PNPM, pertumbuhan ekonomi, dan inflasi yang tampak stabil, dan seterusnya.

Sedangkan Cawapres Boediono tampak sangat tenang dan paham betul perekonomian nasional dan internasional.

Jusuf Kalla tampak jauh lebih tegas dan berani dalam mengambil keputusan. Karakter manajerialnya dipandang berhasil dalam mencip-takan perdamaian di Poso dan Aceh. Bahkan, ketika Presiden SBY tampak masih ragu dalam memutuskan penunjukan Exxon Mobil terkait eksplorasi minyak di Blok Cepu, JK langsung saja menun-juk tim perunding sehingga proyek minyak besar itu diteruskan. Dalam kebijakan yang bernilai bisnis, dia memang sangat lincah. Contohnya, dalam penentuan alternatif peng-ganti BBM dengan proyek konversi. Akan tetapi, karakter cepat bertindak itu pula yang tampak menjadi kekurangan rekam jejak-nya. Wiranto tampak tegas dan berani bertindak semasa menjadi Panglima TNI. Dia pula yang mem-bentuk pasukan pengawal yang bukan TNI reguler (Pamswakarsa). Tetapi, pada masa jabatannya, Timor Timur melepaskan diri dari Indonesia. Seharusnya wilayah itu dilindungi sebagai wilayah Republik Indonesia, termasuk penduduknya yang warga negara RI.

Semasa jabatan SBY-JK, ada dua UU yang sangat kontroversial tetapi disahkan, yakni tentang Pornografi dan Badan Hukum Pendidikan (BHP). Megawati sen-diri bersikap opisisi untuk hal itu. Namun, semasa menjadi presiden, Mega bersama DPR kala itu memberlakukan privatisasi BUMN. Kebijakan release and discharge pun diterbitkan, sehingga pem-bobol likuidas BI tidak lagi dihukum.

Keberhasilan Megawati semasa menjabat presiden antara lain adalah meletakkan dasar-dasar reformasi kelembagaan negara dengan Amandemen UUD RI Tahun 1945. Berdasar konstitusi itu dilahirkan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menjadi pilar penjaga konstitusi dan Komisi Pembe-rantasan Korupsi (KPK) yang mengharu-birukan banyak calon koruptor.

Pada masa itu, pertumbuhan ekonomi dan inflasi bisa dikatakan stabil. APBN berjumlah Rp 200-300 triliun, jumlah yang jauh lebih kecil dari masa kini yang Rp 800-1.100 triliun. Namun, Megawati dipan-dang tidak berhasil mengamankan Poso dan Aceh. Yang lebih parah lagi ada persepsi bahwa lepasnya Pulau Sipadan dan Ligitan ke Malaysia dianggap sebagai kega-galan pemerintahan Megawati Soekarnoputri, walaupun kasus itu sesungguhnya kelanjutan dari kebi-jakan pemerintahan Soeharto.

Prabowo selaku cawapres dipan-dang sangat siap dari tampilan eko-nomi dan kepemimpinan. Tetapi, pada masa dia menjadi Komandan Kopassus dan Kostrad, terjadi kasus penculikan banyak aktivis.

Singkatnya, rekam jejak di atas memerlukan akurasi, presisi, validitas, dan keandalan yang realisitis. Satu hal yang pasti, para capres/cawapres yang akan dipilih ternyata memiliki kelemahan dan kekurangan. Justru karena itu, suara hati yang dibimbing oleh Roh Kudus menjadi pertimbangan uta-ma dan bertanggungjawab dalam memilih yang kurang jelek dari yang nyatanya sama-sama jelek (minus malum).

Nicolas Simanjuntak

Disalin dari Majalah HIDUP No. 25 Tahun ke-63, 21 Juni 2009

Tidak ada komentar: