Minggu, 28 Juni 2009

Tanggapan Trasi Juni

Bahwa umumnya keluarga katholik mempunyai kesadaran tinggi akan pendidikan formal (baca:sekolah) merupakan hal yang perlu disyukuri. Banyak keluarga katholik yang dengan susah payah, banting tulang demi pendidikan anak-anak mereka. Mereka umum-nya berpendapat bahwa tingkat pendidikan, paralel dengan kesejahteraan hidup di kemudian hari.

Hanya, kalau kita amati, umum-nya keluarga katholik mau maju sendiri. Demi pendidikan anak-anak mereka, sungguh mereka mau bekerja keras, berdoa, menempuh cara ini-itu. Saya pikir semuanya itu baik. Hal lain yang kurang adalah satu kenyataan bahwa mereka cenderung lupa bahwa orang lain juga membutuhkan hal yang sama. Mereka lupa bahwa, sebagai anggota Gereja yang satu, setidak-nya dalam satu paroki (Santo Thomas Rasul), perlu maju bersama. Keberhasilan yang satu, merupakan kebahagiaan bersama, kegagalan yang satu merupakan kesedihan bersama. Yang mempu-nyai kelebihan (dalam hal tertentu, selayaknya membantu yang lain, yang dalam hal tertentu tidak mampu. Yang mempunyai kele-bihan (kaya, pandai, terampil, supel, mempunyai relasi baik dengan orang lain, sehat, rajin), jika merasa bahwa umat satu paroki itu bagian dari keluarga besar, semestinya tergugah untuk memberikan sebagian kelebih-annya itu pada yang kekurangan (belum tentu uang lho, meskipun uang sering juga menjadi masalah cukup berat ketika tahun pelajaran baru tiba).

Yang kebetulan berprofesi sebagai pendidik (guru), umumnya malah lebih fokus pada keluarga masing-masing, konsentrasi mere-ka tenggelam untuk pendidikan anak-anak mereka, selain peker-jaan utama mereka sebagai guru tentunya. Mungkin mereka ber-pikir, malu kalau anak guru tidak sekolah sampai tinggi, sebab tiap hari memberi motivasi orang lain untuk meraih prestasi, dan menggapai pendidikan setinggi-tingginya. Jadi mereka juga sama dengan yang berprofesi lain, kurang peduli untuk membantu yang lain. Kalau kita amati secara ekonomi, mereka sebenarnya cukup mapan. Rumah mereka banyak yang baik, pakaian mereka bersih-bersih, anak-anak mereka banyak yang kuliah di perguruan tinggi ternama, dengan biaya mahal. Mestinya kalau mau, mereka bisa menyisihkan sedikit penghasilannya untuk yang sung-guh memerlukan, di samping menyumbangkan ilmunya buat yang membutuhkan. Mungkin saja sistimnya yang perlu dibuat dan dipikirkan bersama. Kalau ada sebuah sistim bagus yang bisa disepakati bersama, tidak mustahil, mereka mau ambil bagian dalam maju bersama. Kita di jalan yang sama dalam peziarahan hidup.

Bagaimana dengan sekolah-sekolah katholik (dari TK sampai SMA) di paroki kita? Mereka juga berat dalam pembiayaan. Masih ditambah dengan persoalan menyusutnya jumlah murid, yang kadang membuat ketar-ketir pengelola dan semua yang terlibat dalam sekolah-sekolah itu. Mereka sungguh memutar otak supaya tetap survive. Meskipun demikian apakah mereka tidak bisa mencarikan jalan bagi anak-anak yang sungguh berminat sekolah, tetapi terkendala biaya, atau persoalan lain. Sebaiknya sekolah, paroki dan umat perlu berpikir bersama, berkeinginan maju ber-sama (khususnya dalam pendi-dikan-sekolah). Setidaknya sekolah lebih tahu jalan untuk membantu mereka yang membutuhkan.

Dulu (tahun 2000-an) ketika saya masih bertugas di SMP Theresiana, ada Yayasan Bhakti Awam (bukan SMA Bhakti Awam), yang memberi bea siswa pada anak-anak katholik yang membu-tuhkan (kurang mampu). Yang membuat kriteria penilaian mampu atau tidak, membutuhkan atau tidak, pantas diberi atau tidak (mungkin dilihat tingkat ke-katholikannya) adalah ketua-ketua wilayah. Jumlahnya lumayan bisa sampai lima belas anak katholik di sekolah saya saja. Itu di Paroki Ambarawa. Di Paroki Santo Thomas Rasul, juga bisa, saya yakin itu.

Romo Tri Hartono (Direktur Yayasan Bernardus), pernah me-nulis di EDUCARE (majalah pendidikan katholik) falsafah “Dua Ikan Lima Roti”. (Mengacu ketika Tuhan Yesus memberi makan lima ribu orang hanya dengan dua ikan dan lima roti). Ringkasnya begini: Setiap tanggal tujuh dalam bulan (dua ditambah lima sama dengan tujuh), umat katholik separoki atau murid sekolah serta seluruh guru dan karyawan, mengum-pulkan sebagian uang yang diper-oleh pada bulan itu (jumlahnya tidak mengikat). Uang yang terkumpul digunakan untuk mem-bantu anak-anak sekolah yang dipandang sungguh membutuhkan. Teknik pengumpulan dan lainnya bisa dirundingkan bersama (dalam hal ini ketua Dewan Paroki diharapkan bisa memfasilitasi untuk pertemuan).

Seperti saya sampaikan di atas, semua orang mempunyai ke-lebihan. Yang bisa memberi kontribusi sedikit uang (tetap diharapkan), bisa memberi kon-tribusi yang lebih banyak di bidang lain. Yang paling penting mau membantu orang lain (sementara separoki Santo Thomas Rasul dulu) untuk maju bersama, tidak terfokus pada diri sendiri atau keluarga sendiri. Semua umat diharapkan begitu apapun profesinya.

Saya setuju dengan TRASI mengenai adanya paguyuban pendidikan informal yang berbasis misi katholik di Paroki Santo Thomas Rasul. Semacam dewan pendidik, gitu.

Semoga tanggapan singkat saya ini bisa bermanfaat, dan menjadi bahan renungan bagi umat Paroki Santo Thomas Rasul, khususnya yang membaca buletin Senthir. Apakah buletin Senthir yang dibagikan setiap bulan Anda baca dan serap informasinya? Semoga.

Pak Ngadelan

Lingkungan Mater Dei

Tidak ada komentar: