Jumat, 29 Mei 2009

DITERIMA DAN DIAKUI

Melelahkan namun memuaskan”, gumam Kancil pelan, setelah beberapa saat bangun, di samping Tono yang masih terlelap walau terikat di sampingnya. Sementara Tini sudah beberapa hari ini bebas dari ikatan karena dia barusan melahirkan 6 anak. Beberapa kelonggaran dia dapatkan, walau untuk sementara, untuk mengurus anak-anaknya yang masih butuh perhatian dan perawatan.

Semalam adalah malam Paskah yang meriah namun tetap dalam suasana khidmat. Sayang ya aku tidak bisa mengikuti Misa di Sadang atau Nawangsari, ingin aku bisa mengikuti apalagi merasakan suasana keseharian di sana, namun nggak tahu, kapan bisa kesampaian. Yah semoga tidak lama lagi niatku kesampaian, sehingga aku bisa buat rerasan bersama Tono dan Tini, tidak hanya di sekitar pasturan, tetapi juga di Nawangsari atau Sadang juga. Untuk semuanya harapan kami sih tetap memakluminya.

Misa malam Paskah semalam memang cukup mengesankan. Mas Moko cs memang kebangeten sih, mosok buat tulisan kok kecil-kecil nggak bisa dibaca umat dari jarak agak tengah, apalagi bagi yang duduk di belakang, lebih lagi yang duduk di luar. Untung Tante Jati dan Suster mampu menyemarakkan altar dengan tata bunganya, yang cukup menutup kekurangan dekorasinya Mas Moko cs. Kesemarakan altar ternyata merupakan awal dari kesemuanya, angkat jempol 4 kaki saya (atau tangan ya, ya adanya ini sih) untuk Mudika yang semakin membuat suasana misa terhayati oleh umat.

Bolehlah saya omong tentang koor mudika ini, yang secara pribadi (saya kan juga punya pribadi) sangat terkesan. Boleh juga ada yang menilai lain, toh itu haknya. Biasanya sih ada yang pengin melihat kekurangan, kekeliruan, atau kesalahan tehnik lain; dan menilai berdasar kekurangan saja memang mudah banget kok.

Bolehlah melihat, Mas Gatot yang cukup kerepotan kehilangan nada yang pas untuk solis litani, Sisca yang pede-pun nggak bisa manjangin napas untuk alleluya, untung pemotongan napasnya cukup mengelabuhi kemegap-megapannya.

Memang tidak lepas dari suasana liku-liku jalannya latihan, perhatian saya tentang mudika ini. Sampai setengah bulan menjelang Paskah, koor ini nggak jelas jluntrungan-nya. Yang kumpul hanya segelintir, bermacam alasan masuk akal menjadi hal yang harus dimaklumi. Untuk ketegaran Om Bokir cs, mampu memaksa kawanan Mudika seminggu tiap hari tanpa henti latihan.

Dengan sentuhan keras Pak On (yang pasti kalau tidak terbiasa, bikin mutung orang), mampu membawa hasil yang maksimal. Lebih kompaknya para pemusik sejak awal cukup menggairahkan, mendayunya flutenya mbak Olga, petikan senar Gusti cs, mampu menggantikan nada-nada gamelan, juga menghentaknya iringan Halleluya Handel, mampu membawa umat umat bak menikmati philharmony orchestra di gereja Lendoh ini.

Lalu apa yang bisa dipetik dari peristiwa ini? Banyaklah kalau mau dicoba ditelaah secara detail! Bisa orang menganggap adalah hal yang biasa. Toh setiap hari raya kan harusnya begitu, harus ada yang mau kerja keras untuk bisa dinikmati umat. Hasil koor yang bagus bisa dinikmati selama misa, tetapi setelah misa, ya lupakanlah. Bahkan kotbah romo yang sangat baguspun kadang hilang tidak mencapai satu hari singah di hati. Lalu apa yang didapat dari sebuah kerja keras ini? Kepuasan sesaat?

Memang sebenarnya butuh sekali hasilnya adalah dampak di kemudian hari. Dampak bagi umat yang semakin tergugah dan terbentuk iman yang semakin berkembang. Sedang bagi pelaku (baik Romo atau petugas liturgi dalam hal ini), diterima dan diakui sudah cukuplah! Kalaupun hal inipun sulit didapat, masih berlakulah ungkapan manis yang cukup bisa diharapkan : Upahmu Besar di Surga!

Salam Kancil

Tidak ada komentar: