Rabu, 23 September 2009

Belajar Rendah Hati

Semua orang merasa rendah hati. Itu benar. Secara umum orang merasa rendah hati, meskipun bukan berarti faktanya memang begitu, itu hanya perasaan. Faktanya sering justru kebalikannya. Untuk itu marilah kita mencoba belajar rendah hati. Caranya bagaimana? Inilah beberapa di antaranya.
Anda suka menceritakan diri Anda sendiri atau keluarga Anda sendiri. Nah, ketahuilah itu salah satu sikap kurang rendah hati. Kurangilah kebiasaan menceritakan diri sendiri atau keluarga sendiri. Untuk itu perlu kesadaran. Sering orang bertanya tentang perkembangan anak seorang teman. Ternyata itu hanya pembukaan untuk selanjutnya secara menggebu-gebu mengagungkan anak sendiri. Bicaranya tanpa titik koma lagi. Kalau sudah begitu, orang lain mau tidak mau menjadi pendengar setia dan kurang senang biasanya. Kurangilah sedapat mungkin hal itu. Ingat bahwa seperti kita, orang lain juga butuh kita dengarkan. Kadang-kadang cerita tentang keberhasilan diri sendiri tidak kedengaran merdu bagi orang lain.
Mendominasi pembicaraan dan keinginan untuk menjadi pusat perhatian juga salah satu tanda bahwa orang belum bisa rendah hati. Sebetulnya dalam kelompok berbicara, kita selayaknya berpikir bahwa semua orang mendapat waktu dan kesempatan yang sama untuk mengemukakan pendapat, cerita atau apa saja yang mereka mau. Dengan mendengarkan orang lain, kita bisa mendapat pengetahuan baru, dan tentu kita bisa menjadi lebih berkembang. Hanya sering hal itu tertutupi keinginan kita untuk menceritakan sesuatu yang lebih hebat. "Ceritamu kalah hebat dibanding ceritaku", katanya. Seakan kehebatan yang dipunyai harus diketahui oleh semua orang, tidak peduli itu menyakitkan bagi orang lain.
Anda taat pada atasan Anda. Jika ya berarti Anda punya point bagus sebagai orang yang rendah hati. Banyak orang merasa bahwa atasan mereka naik hanya karena kebetulan atau karena keberuntungan saja bukan karena kualitas. Ada orang yang di depan tidak mau (karena takut memikul tanggung jawab yang berat), tetapi kalau di belakang suka cuap-cuap ini-itu. Lalu maunya apa? Apapun salah. Itu menunjukkan kurang tulus menerima kelebihan orang lain. Misalnya siapapun yang terpilih sebagai pengurus dewan paroki atau pengurus lingkungan, akan dianggap sebagai orang yang tidak mutu, ambisius, ada udang di balik batu, atau sumpah serapah lain, meskipun dia sendiri tidak mau jika dipilih menjadi pengurus atau ketua. Orang lain yang waras menjadi serba salah kan? Semoga Tuhan dengan kuasa-Nya bisa mengubah sifat orang seperti itu. (Mungkin kita juga seperti itu?)
Semua orang mempunyai kelebihan. Itu harus kita yakini benar. Kita tidak boleh merasa lebih pandai, lebih banyak mempunyai pengetahuan, lebih modern, lebih kota (lawan dari ndesa). Tuhan memberi talenta kepada siapapun, tanpa pandang bulu. Kalau Anda lahir di Bedono, itu hanya kebetulan saja, dan tidak berarti sama sekali bahwa Anda lebih berwawasan dibanding orang Jurang misalnya. Tempat kelahiran secara geografis, sama sekali tidak mengindikasikan mutu seseorang. Satu kenyataan bahwa kita tidak bisa memilih tempat lahir. Juga kita tidak bisa memilih bentuk hidung, pesek atau mancung, atau bentuk wajah, oval atau bulat bola, otak yang cerdas atau biasa, bakat nyanyi atau tidak bisa membaca not. Dengan menyadari itu semua lucu sekali kalau itu membuat kita menjadi merasa lebih daripada orang lain. Aneh kan membanggakan sesuatu yang bukan hasil usaha kita, tetapi kita peroleh begitu saja dari Tuhan. Bisa saja lho ya, Tuhan mencabut itu semua dan kita kehilangan. Kan semua itu hanya titipan dari-Nya yang harus kita rawat, dan kita sumbangkan untuk kebaikan kita dan terutama orang lain. Di hadapan Tuhan kita sama, tidak ada hitam tidak ada putih, tidak ada tinggi tidak ada rendah, tidak ada ndesa tidak ada kutha.
Ciri lain dari orang yang kurang rendah hati adalah suka menggosip. Istilah menggosip sendiri konotasinya cerita menjelekkan orang lain. Seakan tanpa punya cacat cela sedikitpun, kekurangan orang lain dicocor habis dan tanpa henti. Misalnya dia itu suka ngeMP sama Romo. Dekat-dekat sama Romo pasti ada maunya. Marah jika ada orang yang kebetulan mendapat keberuntungan, posisi bagus atau mejadi mapan kehidupannya. Senangnya jika ada orang yang jatuh (namanya, kekayaannya, kesehatanya atau lainnya). Dulu saya mempunyai teman yang jika dia datang ke sebuah kerumunan, orang segera membubarkan diri dari kerumunan, supaya terhindar dari keharusan mendengarkan celotehnya yang tanpa henti. Itu daripada tidak enak pergi waktu dia sudah mulai berbicara.
Dalam hidup semua orang pasti pernah mengalami kegagalan. Cara menyikapi kegagalan pun berbeda-beda. Yang jelas banyak sekali orang yang menyalahkan orang lain ketika gagal. Murid yang tidak lulus ujian, cenderung mengatakan bahwa gurunya tidak bermutu, tidak jelas dalam mengajar. Tanda berrefleksi bahwa dia kurang belajar sungguh-sungguh. Jika ada orang yang diterima bekerja sebagai PNS atau pegawai dengan posisi baik, dikatakan pasti menyogok atau kolusi. Namanya gosip, jadi sumbernya ya dari dia sendiri. Kebenarannya? Sama dengan mencari sarang angin.
"Dengan rendah hati saya sampaikan....". Itu adalah bentuk kesombongan juga. Orang yang merasa rendah hati berarti sombong. Sama seperti orang yang merasa suci, sering justru penuh dosa. Saya telah mengabdi sebagai hamba Tuhan ... tahun". Itu juga bentuk kesombongan luar biasa. Harusnya hal itu tidak perlu disampaikan saat berpidato perpisahan sebagai akhir jabatan Ketua Lingkungan misalnya. "Saya sebagai abdi Negara (maksudnya PNS), ingin menyampaikan... Itu juga bentuk kesombongan, sebab PNS dibayar, dan posisi itu diperebutkan secara luar biasa. Kita bisa belajar rendah hati dengan menghilangkan kata-kata itu. Setuju?
Kebiasaan lain yang mengindikasikan bahwa orang belum bisa rendah hati adalah perasaan "sudah berbaik hati, sudah membantu". Seandainya bukan karena saya dia sekarang pasti masih lontang-lantung. Seandainya dulu saya tidak menyumbangkan tenaga saya untuk gereja ini, maka apa jadinya dengan gereja ini. Sudah saya bantu, tetapi tidak tahu terima kasih. Kurang baik apa saya pada dia, tetapi ya semuanya sia-sia. Ungkapan-ungkapan itu menunjukkan bahwa perasaan sebagai orang baik, dermawan, suka berkorban, sangat kental. Bisakah kita menghilangkan perasaan-perasaan seperti itu. Bisa kan? Kalau tidak itu bisa meracuni diri kita sendiri. Sebab kesombongan dalam segala bentuknya senantiasa menjadi racun bagi kita. Sekali lagi marilah belajar rendah hati. Tidaklah perlu mengingat-ingat kebaikan yang kita buat. Kita selayaknya terus berbuat baik, dan lupakan itu. Orang yang terus-menerus berbuat kebaikan akan merasa bahwa itu biasa, bukan berita. Orang yang hanya sesekali berbuat baik, akan terus ingat itu, sebab itu dirasa sebagai peristiwa langka.
Yang sungguh penting adalah tidak melupakan kebaikan orang lain. Sekecil apapun kebaikan orang lain haruslah kita ingat. Kita melupakan kebaikan kita tetapi senantiasa ingat akan segala yang telah kita terima dari orang lain. Perasaan bahwa keberhasilan yang kita terima adalah hasil dari susah payah banyak orang haruslah kita tanamkan dalam diri kita. Misalnya orang menjadi pandai, sebenarnya banyak orang lain yang andil di dalamnya. Orang tua yang membiayai, mendoakan, menyemangati. Saudara-saudara se-lingkungan atau se-paroki yang ikut berdoa, Romo yang juga mendoakan semua umat, berarti mendoakan kita juga. Kebaikan semua orang itu memberi saham pada keberhasilan kita, dalam hal ini kita menjadi pandai. Bisa juga dalam hal lain, kita bisa percaya diri, berhasil secara ekonomi, terpilih sebagai ketua RT, sopir carter yang laris, catering lontong yang sukses, prodiakon yang lancar dan pandai memimpin doa, pelayan rumah tangga yang mendapat majikan baik, petani yang sukses dan tidak mengenal lelah, rias manten yang kebanjiran pesanan, atau guru yang murid-muridnya pandai dan sopan, serta rapi.
Tahu posisi diri, meski tidak minder. Kita kadang lupa (misalnya karena akrab), posisi kita dimana. Misalnya murid begitu akrab dengan gurunya. Murid yang tahu diri akan tetap ingat kapan dia itu teman, kapan dia itu guru saya. Kalau tidak akan repot, sebab, bisa saja perintah guru, tidak ditaati, toh hanya teman. Kita boleh saja berakrab ria dengan Romo Koko, misalnya, bahkan menurut saya itu baik, tetapi harus senantiasa diingat bahwa Beliau itu seorang pastor. Berbicara ngoko dengan gurunya apalagi dengan romonya, itu kurang pas. Kalau mau aman, pakailah Bahasa Indonesia saja atau Bahasa Inggris. Kita tetap bisa bergaul dengan cair dan enjoy, tanpa meninggalkan posisi kita. Juga orang bisa berhumor ria dengan siapa saja, tetapi haruslah menghindari humor yang menyinggung. Setiap orang mempunyai daerah pekanya sendiri lho, harus ingat itu. Misalnya seseorang sangat tidak suka kalau bentuk fisiknya dijadikan obyek humor, namun orang lain lagi tidak masalah, bahkan senang. Kecenderungannya orang tidak suka kalau aib yang pernah dialami dijadikan obyek humor. Jadi jangan sok humoris, dengan sembarangan membuat humor. Harus pakai analisa dulu dong. Kita lebih baik kehilangan humor daripada kehilangan teman. Ternyata untuk menjadi rendah hati, perlu belajar ya.
Tidak ngeyel dalam pendapat. Kita sering yakin benar, bahwa pendapat kita paling jos, tetapi setelah diadu dengan pendapat orang lain, sering kelihatan kelemahan-kelemahannya. Jika itu terjadi, belajarlah rendah hati dengan mengakui, bahwa pendapat orang lainlah yang lebih baik. Gitu.
Menghindari untuk dimintai nasehat. Karena merasa lebih menguasai masalah atau lebih pandai, kita sering mengharapkan orang meminta nasehat atau pendapatnya. Jika itu tidak dilakukan lalu merasa bahwa kita tidak dianggap, diremehkan. Itu penyakit juga yang perlu diwaspadai. Ada-ada saja.
Seseorang bisa berendah hati dengan tidak merayakan kemenangan secara berlebihan di hadapan orang lain yang kalah, atau orang lain yang tidak mendapatkan kemenangan. Itu tidak mengenakkan bagi mereka. Merayakan kemenangan di hadapan orang yang gagal sering menimbulkan rasa minder atau sakit hati. Jangan mendapat kepuasan di atas cucuran air mata orang lain. Gitu kan orang yang beriman.
Jika mungkin suatu ketika dimintai nasehat atau pendapat, tidak perlu berbicara lebih banyak daripada yang dibutuhkan. Berbicara terlalu banyak mungkin menyenangkan bagi kita tetapi menyebalkan bagi orang lain.
Mari bersama rendah hati tanpa menghalangi kita untuk merasakan nikmatnya hidup sebagai orang beriman.
Pak Ngadelan
Lingkungan Mater Dei

Tidak ada komentar: