Selasa, 10 November 2009

KEMATIAN DAN LITURGI KEMATIAN DALAM TERANG IMAN KRISTEN

Kematian bakal menimpa setiap orang. Orang pun menanggapi dengan berbagai sikap : ada yang melihatnya sekedar peristiwa biasa, mengganggapnya enteng, ada juga yang melihatnya penuh dengan kekuatan, ada yang terbuka untuk siap sedia menerima kapan pun itu terjadi pada dirinya, ada pula yang merasa perlu untuk menunda-nunda seandainya itu dimungkinkan. Kebanyakan orang mengharapkan bila saat itu terjadi, sudah siap dengan segala harapan yang dibayangkan dan dipikirkan ketika masih hidup.
Hal yang juga sering kita alami, kita mesti memikirkan saudara-saudarinya, anak-isteri dan orang-orang terdekat yang akan ditinggalkan. Sedangkan kalau memikirkan orang lain yang mengalami kematian, banyak orang melihat kemungkinan berdasar perilaku selama hidupnya; ada yang merasa sedih kalau melihat saat-saat akhir hidupnya yang penuh dengan penderitaan entah itu sakit atau tekanan-tekanan mentalnya, belum lagi tanggungan yang ditinggalkan; bahkan ada pula yang merasa diuntungkan, atau merasa bersyukur karena Tuhan menyelesaikan persoalan hidupnya. Dan tak ketinggalan adalah sikap positif, yaitu mau melihat teladan dan sikap hidup yang baik dari orang yang mati itu. Yang terjadi sekitar kematian pun beragam, seperti : ada tangis, ada kerepotan, ada pertemuan antara saudara (semacam reuni keluarga), ada upacara pemakaman dan segala doa yang mengiringi kepergiannya ke alam yang kita semua belum mengenalnya. Intinya, kita yang masih hidup repot dengan segalanya itu. Dan baru setelah selang sekian waktu, roda kehidupan kembali pulih bergulir dengan setiap kali menghadirkan kenangan atas saudara yang meninggal itu dalam peringatan-peringatan arwahnya. Singkatnya, banyak hal yang dapat kita saksikan dalam peristiwa kematian. Kamatian pun tak ubahnya semacam peristiwa rutin dan pertunjukan yang melibatkan banyak orang dengan lakon sang mati (orang yang mati menjadi tokoh) tanpa ending (akhir) yang pasti, sebab setiap orang mesti meraba-raba, bahkan bertanya-tanya dan menengok diri “kapan dan bagaimana aku sendiri kelak akan mengalaminya.”
Atas gambaran yang serba tidak pasti mengenai kematian itu, ada satu tawaran yang pasti menjadi kemungkinan satu-satunya pilihan untuk dapat memahami arti kematian. Tawaran itu adalah pemahaman dan pengertian berdasarkan iman. Hanya dengan iman kita dapat mengerti dan memahami kematian yang serba gelap. Karena iman itu sengdiri juga gelap dan kita pun milikinya juga hanya karena bekat rahmat Allah yang membuka hati kita untuk percaya. Karena iman kita iman Kristen, maka dalam konteks iman Kristen itu pula saya tawarkan pemahaman itu.
Bagi seorang Kristen kematian bukanlah semata-mata akhir hidup. Pada saat kematian, kita mengambil bagian dalam misteri Paska Kristus. Ketika dibabtis kita sudah digabungkan dengna Kristus yang telah wafat dan bangkit. Maka pada saat kematian bersama dengan Kristus kita beralih dari dunia fana ini kepada kehidupan kekal. Sebab “kalau kita bergabung dengan Kristus dan turut mati bersama Dia, maka kita akan bergabung dengan Dia pula dalam kebangkitan.” (Rom 6:5) Kita menghadap Bapa dan sesudah disucikan dari dosa, kita diterima dalam keluarga Allah yang berbahagia, sambil menantikan penuh harapan kedatangan Kristus yang mulia dari kebangkitan semua orang pada akhir jaman.
Di sisi lain, kita pun biasa melakukan upacara sekitar kematian, atau dalam istilah Gereja sering disebut Liturgi Kematian. Mengapa itu dibuat Gereja, kiranya dapat saya berikan beberapa pokok gagasannya. Gereja merayakan liturgi untuk orang mati, supaya hubungan antara kematian orang beriman dan misteri Paska Kristus dihadirkan di tengah-tengah umat : “akan mengubah tubuh kita yang hina menjadi serupa dengan tubuh-Nya yang mulia.” (Fil 3:21)
Gereja juga menyelenggarakan liturgi lain di sekitar kematian orang beriman dan juga memanjatkan doa bagi putera-puterinya yang sudah berpulang (3,7,40,100 hari; 1,2,3 tahun, dst.). Dengan demikian kita memuliakan Allah yang menguasai kehidupan dan kematian manusia. Kita memohonkan kebahagiaan abadi bagi saudara kita yang sudah meninggal, kita ikut serta dalam duka nestapa keluarga yag bekabung dan memberikan penghiburan kepada mereka, kita menyadarkan umat (kita semua) akan persekutuan para kudus dan memberi kesaksian tentang iman kita yang penuh harapan. Karena itu hendaklah umat Kristen berusaha, agar dalam perayaan pemakaman rasa sedih dan putus asa diatasi dengan suasana penuh harapan dan ketabahan, sebab kita tidak boleh “bersedih hari seperti mereka yang tidak mempunyai pengharapan.” (1 Tes 4:13). Maka dari itu pewartaan kabar gembira memegang peranan sangat penting dalam liturgi pemakaman. Gereja sendiri dalam memandang orang yang mati amat menaruh hormat, itu dapat kita saksikan misalnya dalam perlakuan kita terhadapnya seperti seolah berbaring tidur dengan pakaian yang pantas serasa mau bertemu dengan orang lain atau mau mengadakan perjalanan, dan seterusnya.
Gereja dalam liturgi untuk orang mati amat memberi penghormatan kepada jenazah anggotanya yang sudah meninggal sedemikian tinggi, karena memahami bahwa orang beriman “adalah Bait Roh Kudus” (1 Kor 6:19). Maksud penghormatan jenazah bukan semata-mata untuk memulihkan keserasian alam, bukan untuk memuja sesosok tubuh yang sudah tidak bernyawa, bukan untuk menghalau roh-roh orang yang masih hidup, melainkan kita menghormati jenazah untuk melepas pergi seorang saudara yang mendahului kita, untuk mengungkapkan persekutuan kita dengan kaum beriman yang sudah meninggal, dan terutama untuk menyatakan kepercayaan dan harapan kita kan kebangkitan badan pada hari kiamat “sebab bagi umat beriman hidup hanyalah diubah, bukannya dilenyapkan” (Prefasi Arwah I).
Liturgi di sekitar kematian dibuat Gereja antara lain untuk menghibur keluarga yang berkabung dan meneguhkan iman umat setempat. Bahkan hal itu merupakan kesempatan yang baik untuk mewartakan iman akan Kristus dan harapan akan kebangkitan kepada hadirin yang bukan Kristen. Karenanya upacara orang mati besar manfaatnya untuk orang yang masih hidup juga, karena bermanfaat sebagai sarana pastoral dalam pembinaan umat dan pewartaan Injil.
Akhir kata, dari kenyataan bahwa kematian yang serba gelap dan hanya dapat kita raba dengan iman toh juga menjadi bagian dari ungkapan hidup beriman kita. Oleh karena itu, harapan yang mestinya kita miliki dalam setiap mengalami kematian saudara-saudari kita, terutama yang seiman, iman kita tambah. Gereja sendiri memberi tempat dalam bulan November, tepatnya tanggal 1 dan 2 November (peringatan semua orang kudus dan jiwa-jiwa orang beriman yang masih membutuhkan doa-doa kita) antara lain supaya kita bisa belajar beriman dari peristiwa kematian. Semoga iman kita kian hari kian hidup, juga dengan peristiwa kematian saudara-saudari kita seiman, hingga kematian mereka pun seperti kematian Kristus sendiri, bahwa kematiannya memberi hidup, kematiannya tidak sia-sia untuk sesamanya yang masih di dunia.

St. Koko Pudjiwahyulistyono, Pr.

Tidak ada komentar: