Selasa, 06 Oktober 2009

PEDULI, TIDAK BEDA DENGAN PENGORBANAN


Mbah Darsin, cerita tentang pembangunan gedung gereja Santa Maria Ratu Rosario Sadang kala itu. Berdirinya bangunan merupakan wujud riil dari para umat dan pemrakarsa serta para pendukung yang peduli akan kehidupan iman umat. Di samping anggaran yang terencana, banyak juga tangan-tangan pendana yang peduli, membantu segala sesuatu demi tegak berdirinya bangunan yang sampai saat ini baru sekali direnovasi. Siapa saja para donatur itu? Karena sikap yang tanpa pamrih, mereka tidak disebutkan. Namun karena tidak ingin melupakan jasa, sebuah tulisan Mbah Darsin ditanam di salah satu bagian depan kuda-kuda bangunan gereja yang berisi daftar siapa saja yang telah berkenan membantu. Cara unik Mbah Darsin memberi penghargaan.

Mbah Darsono almarhum, tidak ada yang tidak kenal umat Paroki Bedono yang satu ini, baik kehidupan maupun karya pelayanan beliau yang boleh dikatakan monumental. Dalam segala keadaan di setiap kesempatan, dengan sangat ringan beliau memberikan pengajaran, pelayanan, dan karya lain bagi umat katolik Bedono. Panggilan Jiwa Guru mendasari rasa tangung jawabnya terhadap pelayanan menggereja, tanpa mementingkan keperluan pribadi dan keluarga. Sebuah kepedulian sesuai kemampuan yang tanpa pamrih.

Mas Markus, setiap Sabtu atau menjelang hari-hari besar selalu mendampingi anak-anak manis berkumpul di gereja, dan salah satu kegiatan utamanya latihan misdinar. Dengan sabar ia mendampingi putra/i altar. Sering kalau dalam misa ada sesuatu yang kurang berkenan pada Romo waktu bertugas, jadi bebannya pula tanggung jawab tersebut. Belum lagi kalau umat juga melihat segala kekurangan yang bisa dibaca dari gerak gerik romo, tidak kurang pula umat ikut ngelikake Pak Markus, yang mungkin juga bukan karena kesalahannya. Padahal kalau kita tahu, Pak Markus melakukan bukan karena tanggung jawabnya (dalam susunan formal), tetapi karena rasa cinta dan panggilan hatinya kerelaan pelayanan itu ada. Tidak jarang dipandang sebelah mata, namun peduli tanpa pamrih masih menjadi jawaban hatinya.

Tiga contoh kepedulian tanpa pamrih, tanpa ikatan, yang merupakan pengurbanan yang berharga bagi orang lain.
Memang masih banyak contoh kepedulian seperti itu yang mungkin tidak sengaja kita perhatikan.

Ada kepedulian (yang diharapkan tanpa pamrih) pula, walau memang sudah menjadi tugas wewenang dan tanggung jawab, namun kadang tidak dirasakan langsung orang lain, sehingga harapan akan sebatas pengakuan saja mungkin cukup menghibur, namun jarang sekali mendapatkannya, bahkan mendapatkan hal sebaliknya dipaido, tidak ditanggapi.
Paling menghibur diri dengan “upahmu besar di surga”

Nggak ada salahnya, sekali waktu kita mencoba merenungkan perihal kepedulian orang-orang di sekitar kita, para pengurus lingkungan yang banyak rekasa-nya dibanding enaknya, para pengurus gereja yang sebisa-bisanya berkarya diantara beban kehidupan kese-harian, gembala yang berusaha ini-itu demi umatnya. Lalu kita refleksi diri apa yang telah kita perbuat, baik terhadap beliau-beliau, atau pun Gereja?
Sudahkah kita berani hidup berkomunikasi dengan dasar seder-hana hidup menggereja yang diingatkan Frater Bee di salah satu minggu lalu: maaf, tolong dan terimakasih; baik dengan sesama umat dan pengurus gereja, juga dalam kehidupan di masyarakat?
Ada titipan dari redaksi tenang hal ini : maaf, karena memang baru ini yang bisa disajikan dengan keterbatasan yang ada, yang mungkin belum bisa menyentuh seluruh umat, karena kemampuan minta tolong kami yang sulit kami dapatkan, terutama tanggapan dan harapan suara dan peran serta umat sebagai kelengkapan tujuan utama kami: wadah komunikasi antar umat yang lebih positif, dan terima kasih bagi siapa saja yang telah maupun belum sempat membantu.

Ngka, komunitas Cicilia

Tidak ada komentar: