Selasa, 06 Oktober 2009

SENTHIR ITU


Awal mula saya menulis di SENTHIR, ada perasaan kasihan pada bagian dapur (pengelola) majalah ini. Betapa tidak, mereka mengurusi teknis penerbitan kok masih terbebani dengan menulis. Saya perhatikan penulisnya itu-itu saja. Tulisannya sih baik, setidak-nya layak baca. Lalu apa hubungannya dengan tulisan ini.
Tulisan ini diinspirasi oleh percakapan Pak Bernardus Suparlan (ketua Lingkungan Mater Dei) dengan istri saya, yang diceriterakan kembali oleh istri saya, pada suatu hari di bulan Agustus yang lalu.
"Bu waktu pertemuan doa kemarin (Lingkungan Mater Dei di rumah Pak Maryono), ketika lampunya mati, banyak yang pulang begitu saja, sebab waktu pertemuan hampir habis. Sebetul-nya itu sih biasa, tetapi masalah-nya, waktu itu saya membagikan 25 buah Senthir untuk para keluarga Lingkungan Mater Dei. E, ternyata dari 25 itu 7 buah di antaranya ditinggalkan begitu saja, lalu saya punguti kembali. Celakanya saya sendiri tidak tahu itu milik siapa, maka ya saya tahan saja”. Begitu kata Pak Parlan. "Saya pikir sebagian atau mungkin banyak umat Santo Thomas Rasul kurang berminat pada Senthir. Selayaknya yang memang kurang berminat, tidak usah diberi saja, sebab itu kan hanya pemborosan. Mungkin hanya sekitar 20 persen Senthir yang dibaca, selebihnya entah apa nasibnya.” Begitu timpal istri saya.
Itu salah satu hal yang saya dengar dan ketahui tentang Senthir. Mungkin Anda mempunyai ceri-tera lain, tolong bagikan dong. Pertama kali Senthir terbit, dengan bermodalkan idealisme beberapa muda-mudi yang didukung oleh beberapa orang tua, saya salut dan acung jempol. Saya dulu mempunyai pengalaman dengan almarhum Akur (majalah Paroki Regina Pacis Bedono tahun 90-an). Mati sebab dukungan umat kurang, terutama setelah Romo Hastoro meninggalkan Bedono. Semoga Senthir tidak mengalami hal serupa, doaku.
Namanya juga Senthir, bukan Senthor misalnya. Senthir itu kan kecil, memberi sedikit, namun berguna. Waktu kecil dulu saya tinggal di Jurang. Di kampung pinggir hutan itu, penerangan malam hari hanya senthir. Belajar juga dengan penerangan senthir. Itulah sebabnya saya yang suka membaca waktu malam harus pakai kacamata sampai sekarang. Namun saya bayangkan kalau tidak ada senthir berarti setiap malam gelap gulita. Untung ada kamu, senthir. Kita berharap bahwa Senthir kita bisa memberi sesuatu meskipun layaknya senthir hanya bisa memberi sedikit, jika memberi banyak namanya senthor (menggerojok dalam jumlah banyak).
Bagi saya Senthir, terlalu kurus. Ketika datang ke rumah (biasanya sudah pertengahan bulan), saya baca kurang dari dua jam habis, tak tersisa. ltu sudah termasuk rubrik, iklan, dan semuanya pokoknya dari A sampai Z, tanpa ada yang terlewati. Apa tidak ada bahan lain untuk dibaca? O, bajibun, tetapi informasi dari Senthir kan lain, menyangkut keluarga besar sendiri. Jadi Senthir tetap saya baca dan saya anggap penting. Namun banyak orang kan kurang suka membaca, atau berpendapat lain tentang Senthir. Meskipun saya sendiri berpendapat bahwa penampilan Senthir monoton. Mungkin perlu dibuat hurufnya, judulnya bervariasi, juga ilustrasi perlu ditambahkan, komputer sekarang canggih, bisa ini-itu. Ilustrasi bukan hal remeh. Banyak hal abstrak menjadi bermakna setelah diberi ilustrasi. Contoh, kita senantiasa melihat di gereja patung lbu Maria dan Tuhan Yesus. Itu memberi kita gambaran lebih jelas mengenai lbu Maria dan Tuhan Yesus, jadi meskipun harganya mahal, kedua patung itu perlu ada. Bahwa gambaran fisik lbu Maria dan Tuhan Yesus waktu masih di dunia dulu tidak seperti itu, mungkin saja. ltu kan imajinasi fisik lbu Maria dan Tuhan Yesus ala Leonardo da Vinci, kata orang yang sedikit tahu. Sampul depannya sih oke, menurut saya. Juga kartunnya yang sempat menghilang, harus dipertahankan, sebab itu sangat disukai anak-anak. Semoga tetap ada ide untuk membuat kartun. Perlu juga (jika mungkin) ditambah humor-humor segar yang gerejani.
Distribusi, juga bukan perkara mudah. Suatu ketika saya berbicara dengan teman saya yang tinggal di Tompak, jauh dari pusat paroki Bedono. Dia berceritera bahwa isinya baik, banyak yang dibutuhkan, tetapi dia rata-rata baru terima Senthir setelah tanggal 15 pada bulan yang bersangkutan. Padahal saya suka mengisi TTS dan ingin mengirimkan jawabannya, tetapi waktunya selalu terlalu mepet. Apa masalah distribusi ini bisa diperbaharui, dalam arti diperbaiki?
Terkadang saya membuat lebih dari satu artikel dalam satu edisi. ltu kurang baik menurut saya, sebab kalau sebuah majalah terlalu didominasi satu orang atau satu kelompok itu tidak sehat. Tidak sehat artinya mendekati kematian, padahal kita berharap Senthir panjang umur, sehingga tetap bisa memberi pelayanan pada umat, utamanya dalam bidang informasi. Untuk itu saya sering menulis dan saya atas namakan orang lain. Nyatanya ada beberapa teman yang tahu bahwa itu tulisan saya." Yang atas nama temanmu itu tulisan kamu sendiri tho?" Kata teman saya suatu ketika. "Kok tahu?" Ya gaya tulisanmu kan khas, sedikit humoris, banyak kampungan.” Sambungnya. Saya hanya manggut-manggut sambil ter-senyum, pas buntu ide untuk mengelak.
Kadang memang imbas dari tulisan di Senthir tidak terlalu signifikan. Misalnya pernah ditulis tentang "Misa Kudus dan Kita" (Senthir Juli 2009, halaman 16 - 18). Nyatanya waktu misa banyak umat yang tetap saja di luar sambil mengobrol, padahal tempat di dalam masih kosong. Contoh lain beberapa kali Senthir terbit muncul tulisan" Arti Simbol dalam Liturgi/Sikap Dalam Liturgi", toh banyak umat tidak menyesuaikan dengan tata cara itu. Mereka tetap menggunakan tata cara mereka sendiri. Ltu indikasi bahwa Senthir tidak dibaca.
Senthir memang tidak sempurna, hanya jangan putus asa dong, para pengasuhnya. Banyak juga umat yang membutuhkan Senthir (di samping yang tidak). Buktinya apa? Beberapa umat mengo-mentari isi Senthir, artinya membaca dan mencermati. Yang menyumbang juga banyak, itu artinya mendukung. Jadi keber-adaan Senthir harus dilanjutkan, dengan perbaikan di sana-sini, termasuk juga perbaikan umat dalam menyikapinya. Tidak ada Senthir tidak asyik.

Pak Ngadelan
Lingkungan Mater Dei

Tidak ada komentar: